SEKILAS INFO
  • 6 bulan yang lalu / “Barangsiapa yang Allah menginginkan kebaikan baginya, maka akan dipahamkan akan agamanya.” (HR. Bukhori dan Muslim)
WAKTU :

Lima Keistimewaan Ash-Suffah Menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi

Terbit 25 Maret 2022 | Oleh : admin | Kategori : Sahabat NabiTausyah
Lima Keistimewaan Ash-Suffah Menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi

Selama hidupnya Nabi Muhammad SAW memiliki sahabat dengan latar belakang yang berbeda-beda. Mulai dari pekerja, pengusaha, orang miskin dan kaya bahkan orang-orang yang mencurahkan hidupnya untuk agama yang disebut dengan ahl ash suffah.

Yakhsyallah Mansur dalam bukunya Ash-Shuffah menuliskan, dalam menggambarkan kehidupan ahl ash-Shuffah ini, Abu Nu’aim berkata, mereka adalah orang-orang yang terjaga dari kecenderungan dunia, terpelihara dari kelalaian terhadap kewajiban dan menjadi panutan kaum miskin dalam menjauhi keduniaan.

Mereka juga tidak memiliki keluarga dan harta benda. Aktivitas bisnis dan peristiwa yang berlangsung di sekitar mereka tidak melalaikan mereka dari mengingat Allah SWT. Mereka tidak disedihkan oleh kemiskinan materi dan mereka tidak digembirakan.

“Kecuali oleh sesuatu yang dapat menguatkan mereka untuk meraih kebahagiaan hidup di akhirat,” katanya.

Kebahagiaan mereka adalah bersama Tuhan mereka dan kesedihan mereka adalah apabila waktu terlewat tanpa dapat digunakan untuk beribadah dan membaca wirid mereka. Ketika menafsirkan ayat tentang ahl ash-Shuffah surah al-Baqarah ayat 273, Ahmad Musthafa al-Maraghi menyatakan bahwa ahl ash-Shuffah memiliki lima keistimewaan sebagai berikut:

Pertama, terikat di Jalan Allah SWT Yang dimaksud terikat “di jalan Allah” adalah mengonsentrasikan diri untuk berjihad dan semua pekerjaan yang diridhai Allah. Sebab apabila mereka sibuk bekerja seperti yang lain niscaya hal-hal yang berhubungan dengan kemaslahatan umat akan terbengkalai.

Kedua tidak memiliki kesempatan bekerja dan berusaha di bumi. Hal ini disebabkan sakit atau mempertahankan diri dari serangan musuh. Jadi, mereka tidak bekerja bukan karena malas atau tidak ada pekerjaan.

Ketiga, menjaga kehormatan dan sangat  menahan diri. Artinya tidak memiliki keinginan terhadap materi yang dimiliki oleh orang lain. Sikap ini yang menyebabkan orang-orang yang tidak tahu menyangka mereka adalah orang kaya yang tidak memerlukan bantuan orang lain.

Keempat, memiliki ciri-ciri khusus yang hanya diketahui oleh orang mukmin yang dermawan dan berfirasat halus. Karena kemiskinannya, ahl ash-Shuffah se-benarnya sangat membutuhkan bantuan. Hanya karena mereka sangat menjaga kehormatan, mereka bertahan menutupi kemiskinannya agar tidak di-ketahui oleh orang. Namun orang yang memiliki firasat yang halus mengetahui bahwa sebenarnya mereka sangat membutuhkan bantuan.

Lima, tidak minta-minta kepada orang lain dengan mendesak-desak. Mereka pantang meminta-minta seperti pengemis yang merengek-rengek minta dikasihani orang lain.

Jadi bagaimanapun kesusahan yang menimpa me-reka namun ahl ash-Shuffah sangat pantang meminta, sebab mereka memiliki sifat iffah (kehormatan) se-bagaimana yang disebut pada poin ketiga di atas.

 

Mengenal Ahmad Musthafa Al-Maraghi dan Magnum Opusnya

Ahmad Musthafa Al-Maraghi

Ahmad Musthafa Ibn Muhammad Ibn Abdu al-Mun’im al-Maraghi

Ahmad Musthafa Ibn Muhammad Ibn Abdu al-Mun’im al-Maraghi ialah salah satu mufassir era modern yang terkenal dengan magnum opusnya, Tafsir al-Maraghi. Ia lahir di bulan Rabi’ul Akhir 1298 H/ 9 Maret 1883 M di Mesir. Nama al-Maraghi diambil dari nama daerah tempat ia dibesarkan yaitu Maragah, sebuah kota di Provinsi Suhaj, Mesir. Ahmad Musthafa al-Maraghi dikenal sebagai mufassir yang membawa semangat gurunya, Muhammad Abduh, yang terkenal akan semangat pembaharuan (tajdid) dan menolak taqlid.

Ahmad Musthafa al-Maraghi dibesarkan oleh orang tua yang memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni. Darinya, al-Maraghi mempelajari dasar-dasar keilmuan ia melanjutkan pendidikannya di sebuah madrasah yang ada di tempat tinggalnya, hingga kemudian orang tuanya mengirimkannya ke Universitas al-Azhar untuk meningkatkan level keilmuannya. Di al-Azhar inilah, Musthafa al-Maraghi bertemu dengan Muhammad Abduh.

Selama mengikuti pengajaran yang diampu oleh Muhammad Abduh, terjadi lompatan positif dalam diri al-Maraghi khususnya pada penguasaan keilmuannya. Ia merasa seperti tidak hanya diajarkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas akademik namun juga mengenai persoalan yang terjadi di masyarakat. Dalam bidang tafsir, al-Maraghi dengan mantap menjadikan manhaj (kerangka berpikir) Abduh sebagai manhaj tafsirnya. Sebuah manhaj yang didasarkan pada argumen bahwa fungsi al-Qur’an ialah sebagai hidayah.

Selama menuntut ilmu di al-Azhar, Musthafa al-Maraghi dikenal sebagai murid yang memiliki akhlak yang baik serta semangat yang kuat dalam meningkatkan ilmu. Ia pun bersama teman-temannya membuat sebuah kelompok belajar yang ditujukan untuk menguasai pelajaran di kelas maupun di luar kelas. Pada tahun 1909 M, al-Maraghi berhasil menyelesaikan pendidikannya di al-Azhar. Perlu diketahui bahwa selama al-Maraghi kuliah di al-Azhar, ia juga mengambil kuliah di Universitas Darul Ulum dan lulus di tahun yang sama.

Selepas lulus dari perguruan tinggi, al-Maraghi meniti karirnya dalam bidang pengembangan ilmu. Ia dipercaya menjadi guru di beberapa madrasah dan kemudian diangkat menjadi direktur Madrasah Mu’allimin di Fayum, Kairo. Pada tahun 1916, ia diangkat menjadi dosen di Universitas al-Azhar Sudan selama empat tahun. Tahun 1920, ia kembali ke Mesir dan menjadi dosen di Universitas al-Azhar Kairo serta puncaknya diangkat sebagai rektor selama dua periode yaitu pada tahun 1928 dan 1935 M.

Ahmad Musthafa al-Maraghi wafat di Kairo, saat usianya menginjak 69 tahun. Selama hidupnya ia adalah sosok cendekiawan yang produktif, hal ini bisa dilihat dari banyaknya warisan intelektual yang ia tinggalkan. Beberapa diantaranya ialah Ulum al-Balaghah, Tarikh Ulum al-Balaghah wa Ta’rif bi Rijaliha, al-Rifq bi al-Hayawan fi al-Islam serta magnum opusnya Tafsir al-Maraghi.

Mengulas Ringkas Tafsir al-Maraghi

Dalam pendahuluan kitabnya, Al-Maraghi mengatakan bahwa tujuan dari lahirnya Tafsir al-Maraghi sebagai salah satu kitab tafsir modern ialah menyajikan sebuah kitab tafsir yang mudah dipahami oleh masyarakat secara umum. Hal ini didasarkan pada banyaknya permintaan yang ditujukan kepadanya mengenai tafsir yang mudah dipahami oleh kalangan non intelektual.

 

Tafsir Al-Maraghi

Tafsir Al-Maraghi

Kitab tafsir ini ditulis dengan metode tahlili atau ayat per ayat mulai dari surah al-Fatihah sampai al-Nas. Dari sisi sumber penafsiran, tafsir ini mengusung metode bil iqtiran atau mengombinasikan antara metode bil ma’tsur dan bil ra’yi al-mahmudah. Hal ini didasarkan oleh keinginannya, sebagaimana manhaj Abduh, untuk melakukan pembaharuan dan mencoba mencari solusi atas persoalan yang terjadi di masyarakat, sehingga riwayat-riwayat salaf dijadikan sebagai jembatan untuk melakukan ijtihad baru dan menghasilkan penafsiran yang sesuai dengan konteks yang dihadapi.

Maka jika dilihat dari sisi corak penafsirannya, Tafsir al-Maraghi, sebagaimana al-Manar, mengadopsi corak adabi ijtima’i atau secara sederhana dapat dipahami sebagai corak penafsiran yang menjadikan aspek sastrawi sebagai dasar dalam menghasilkan sebuah penafsiran yang mampu menghadirkan fungsi al-Qur’an sebagai hidayah yang mampu menjawab persoalan-persoalan yang dialami oleh masyarakat.

Adapun jika dilihat dari sisi sitematika pemaparan penafsirannya, dapat diuraikan bahwa al-Maraghi pertama-tama menampilkan ayat yang akan ditafsirkan. Kemudian ia menampilkan makna kosa kata yang dinilai sulit maupun gharib (asing). Selanjutnya ia memberikan makna ijmali dari ayat yang ditafsirkan sebagai langkah awal untuk mempermudah dalam memahami ayat. al-Maraghi juga menyisipkan asbabun nuzul jika ayat yang dikaji memiliki riwayat asbabnun nuzul.

Lalu al-Maraghi masuk pada penafsiran ayat secara tafshili atau terperinci dengan melakukan metode tafsirul Qur’an bil Qur’an, menguraikan pendapat mufassir sebelumnya dan menguatkan pendapat yang dianggap lebih baik. Setelah itu ia juga berupaya menggapai maghza (signifikansi) dari ayat yang ditafsirkan sebagai upaya untuk memberikan nuansa fungsi al-Qur’an sebagai hidayah yang mampu menjadi panduan dalam berkehidupan.

Adapun jika dilihat dari cara penjabarannya, al-Maraghi terkesan menghilangkan istilah-istilah keilmuan yang mungkin akan menyulitkan pembacanya seperti istilah-istilah dalam ilmu Nahwu, Shorof dan Balaghah. Hal menarik lainnya juga, al-Maraghi berusaha menghadirkan integrasi keilmuan (ke-Islaman dan non ke-Islaman) dalam penafsirannya. Terakhir dalam menyikapi kisah-kisah isra’iliyyat, al-Maraghi terkesan selektif dan bahkan menyesalkan para pendahulunya yang mudah sekali memasukkan riwayat-riwayat tersebut dalam penafsiran mereka.

Sebagai salah satu karya tafsir era modern, Tafsir al-Maraghi menjadi salah satu karya tafsir yang menyajikan nuansa baru dalam khazanah Islam. Menjadi salah satu dari karya tafsir yang memprakarsai lahirnya penafsiran yang tidak buta akan konteks yang sedang dihadapi dan bahkan mencoba untuk menghadirkan solusi. Bagi para peminat kajian al-Qur’an dan tafsir, kitab ini bisa menjadi rujukan yang sangat baik untuk dikaji dan diteliti. Wallahu a’lam.

SebelumnyaMisteri Waktu Hari Kiamat dan 3 Golongan yang Berbeda SesudahnyaDalil Bolehnya Kembalikan Barang Jual Beli Jika Ada Cacat Menurut Ibnu Rusyd

Tausiyah Lainnya