Hukuman Orang yang Memburu Kesenangan Dunia

Hasan al-Bashri merupakan alim ternama pada era tabi’in, sekaligus murid para sahabat Nabi SAW dan ahlul bayt. Ia lahir di Madinah pada 21 Hijrah (642 Masehi) dan wafat pada 110 Hijriah. Ia terkenal dengan kezuhudannya dan ketaatannya kepada Allah Swt. Nasihat-nasihatnya bertebaran di sejumlah buku yang ia karang.
Dalam kitab Nashaihul ‘Ibad karya Syekh Nawawi al-Bantani dijelaskan bahwa Hasan al-Bashri pernah berkata,
من أراد الدنيا واختارها على الآ خرة عاقبه الله بست عقوبات، ثلاث فى الدنيا وثلاث فى الآخرة، أما الثلاث التي هي فى الدنيا فأمل ليس له منتهى، وحرص غالب ليس له قناعة، وأخذ منه حلاوة العبادة
“Siapa yang memburu (kesenangan) dunia dan lebih memilihnya daripada akhirat, niscaya Allah akan menghukumnya dengan enam macam hukuman. Tiga di antaranya ditimpakan di dunia, sedangkan yang lainnya akan ditimpakan kelak di akhirat. Adapun tiga hukuman yang ditimpakan di dunia adalah angan-angan yang tak berkesudahan, sifat rakus yang menguasai dirinya dan tak pernah merasa puas, dan dicabut darinya nikmat beribadah.”
Adapun tiga hukuman yang akan ditimpakan pada Hari Kiamat adalah ketakutan luar biasa (sesuatu yang menakutkan dan mencekam pada Hari Kiamat). Kedua, perhitungan amal (hisab) yang sangat berat. Ketiga, penyesalan yang panjang.
Dalam kitabnya ini, Syekh Nawawi memaparkan secara khusus hukuman dunia tentang angan-angan yang tak berkesudahan. Diriwayatkan oleh ibnu Abi al-Dunya: “Bahwa Rasulullah Saw membuat perumpamaan manusia, angan-angan dan ajal. Rasul mengumpamakan ajal ada di samping manusia, sementara angan-angan ada di depannya. Ketika dia berusaha menggapai angan-angan yang ada di depannya, tiba-tiba ajal mendatanginya, lalu mencabutnya.”
Menurut Syekh Nawawi, Rasulullah Saw juga bersabda, “Banyak sekali orang yang menjalani hari tanpa bisa menyempurnakannya, dan orang yang menanti hari esok tanpa bisa mencapainya. Jika engkau memperhatikan pada ajal dan caranya (menjemput), niscaya engkau tidak akan menyukai angan-angan dan tipuannya.” (HR al-Dailami)
Selain itu, Syekh Nawawi juga menjelaskan tentang sifat rakus yang menguasai dirinya dan tak pernah merasa puas. Menurut dia, rakus itu dapat merampas keutamaan dalam jiwa dan menghalangi seseorang menjalankan ibadah secara sempurna serta membangkitkan jiwa untuk memakan harta syubhat.
Syekh Nawawi mengatakan, orang yang rakus tidak akan mengenal kata selesai, tidak pula mengenal batas yang membuat jiwanya tenang. Sebab, orang yang rakus, jika sudah mencapai tujuannya justru berhasrat untuk menambah kerakusan dan angan-angannya. Jika tujuannya belum tercapai, dia menganggap abaian orang-orang kaya sebagai sebuah celaan sehingga harapannya yang telah lalu menjadi semakin kuat.
Wasiat Rasulullah SAW Bahwa Kehidupan Dunia tak Abadi
Sahabat yang mulia, Jabir bin Abdullah, mengabarkan bahwa Rasulullah pernah melewati sebuah pasar hingga kemudian banyak orang yang mengelilinginya.
Sesaat kemudian beliau melihat bangkai anak kambing yang cacat telinganya. Beliau mengambil dan memegang telinga kambing itu seraya bersabda, ”Siapa di antara kalian yang mau memiliki anak kambing ini dengan harga satu dirham.” Para sahabat menjawab, ”Kami tidak mau anak kambing itu menjadi milik kami walau dengan harga murah, lagi pula apa yang dapat kami perbuat dengan bangkai ini?” Kemudian Rasulullah berkata lagi, ”Apakah kalian suka anak kambing ini menjadi milik kalian?” Mereka menjawab, ”Demi Allah, seandainya anak kambing ini hidup, maka ia cacat telinganya. Apalagi dalam keadaan mati.”
Mendengar pernyataan mereka, Nabi bersabda, ”Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah daripada bangkai anak kambing ini untuk kalian.” (HR Muslim).
Dalam riwayat lain disebutkan:
وعن ابن عمر رضي اللَّه عنهما قَالَ: أَخَذ رسولُ اللَّه ﷺ بِمَنْكِبِي فقال: كُنْ في الدُّنْيا كأَنَّكَ غريبٌ، أَوْ عَابِرُ سبيلٍ
Pada suatu waktu, Rasulullah memegang pundak Abdullah bin Umar Beliau berpesan, ”Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan orang asing atau orang yang sekadar melewati jalan (musafir).”
Abdullah menyimak dengan khidmat pesan itu dan memberikan nasihat kepada sahabatnya yang lain:
كَانَ ابنُ عمرَ رضي اللَّه عنهما يقول: “إِذَا أَمْسَيْتَ فَلا تَنْتَظِرِ الصَّباحَ، وإِذَا أَصْبَحْتَ فَلا تَنْتَظِرِ المَساءَ، وخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لمَرَضِكَ، ومِنْ حياتِك لِمَوتِكَ” رواه البخاري
”Apabila engkau berada di sore hari, maka janganlah engkau menanti datangnya pagi. Sebaliknya, bila engkau berada di pagi hari, janganlah engkau menanti datangnya sore. Ambillah (manfaatkanlah) waktu sehatmu sebelum engkau terbaring sakit, dan gunakanlah masa hidupmu untuk beramal sebelum datangnya kematianmu.” (HR Bukhori).
Allah SWT berpesan pada pelbagai ayat tentang hakikat, kedudukan, dan sifat dunia yang memiliki nilai rendah, hina, dan bersifat fana. Dalam surat Faathir ayat 5, Allah menekankan bahwa janji-Nya adalah benar. Dan, setiap manusia janganlah sekali-kali teperdaya dengan kehidupan dunia dan tertipu oleh pekerjaan setan.
Di ayat lain dalam surat Al-Hadid ayat 20, Allah berfirman:
ٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَوْلَٰدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ ٱلْكُفَّارَ نَبَاتُهُۥ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَىٰهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَٰمًا وَفِى ٱلْاَخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ الـلَّـهِ وَرِضْوَٰنٌ وَمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلْغُرُورِ
”Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”
وَٱضْرِبْ لَهُم مَّثَلَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا كَمَآءٍ أَنزَلْنَٰهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ فَٱخْتَلَطَ بِهِۦ نَبَاتُ ٱلْأَرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيمًا تَذْرُوهُ ٱلرِّيَٰحُ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ مُّقْتَدِرً
”Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Kahfi: 45)
Kritik al-Ghazali terhadap Kehidupan Dunia
Kesibukan membuat kehidupan semakin mesra dengan dunia. Pada pagi hari orang sibuk bekerja hingga sore, bahkan malam. Setelah itu mereka beristirahat. Nyaris tak ada waktu lebih untuk merelaksasi pikiran. Kalaupun ada, itu hanya diisi dengan candaan penuh tawa, yang belum tentu membawa ketenangan batin.
Kesibukan juga membuat seseorang hanya memahami cara mendekati Allah hanya dengan ritual wajib, seperti rukun Islam. Selebihnya mereka kembali tenggelam dengan kehidupan duniawi. Fisik menjadi letih. Pikiran kerap buntu karena terlalu diporsir untuk bekerja ekstra.
Jika hanya mendekati seadanya, hanya melalui ritual wajib, maka Allah tak banyak memperhatikan kita. Tak ada yang berbeda dari hamba seperti itu dengan kaum awam lainnya. Karena mereka sama-sama sekadar melaksanakan kewajiban.
Bukan tidak mungkin hamba seperti ini ditafsirkan sebagai pencinta dunia (muhibbud dunya). Status seperti itu sangat dibenci ulama tasawuf, karena mem buat hati bebal, sehingga tak dapat menerima cahaya Ilahi. Hati yang keras hanya akan membuat seseorang merasa benar sendiri, sehingga mengabaikan petuah bijak ulama yang menyampaikan hikmah Ilahiyah seperti yang pernah disampaikan para nabi dahulu.
Hujjatul Islam Imam al-Ghazali menjelaskan dunia merupakan musuh Allah dan para wali-Nya. Dunia menjadi musuh Allah karena berbagai keindahan di dalamnya menipu manusia. Hanya orang beriman yang memahami hakikat dunia, sehingga mengetahui bagaimana menyikapi kehidupan di dalamnya.
Banyak lagi kecaman tentang kehidupan dunia yang disampaikan mantan kepala madrasah Nizamiyah tersebut.
Kritikan al-Ghazali terhadap kehidupan dunia merupakan peringatan untuk kaum Muslimin ketika itu agar tidak melu pakan kehidupan akhirat. Masyara kat harus mengingat kematian dan kehidupan sesudah dunia.
Caranya dengan mendekati Allah, menyebut asma-Nya dengan berzikir, sehingga hati menjadi terbuka dan menerima Nur Ilahi. Allah berfirman, ketahuilah, berzikir menyebut Allah menenang kan hati (QS ar-Ra’du: 28).