Dalil Bolehnya Kembalikan Barang Jual Beli Jika Ada Cacat Menurut Ibnu Rusyd

Ketentuan-ketentuan dalam jual beli diatur dalam syariat dan fikih Islam. Beberapa ketentuan itu pada dasarnya adalah melindungi hak konsumen dari perkara yang dapat merugikan.
Salah satu ketentuan dalam jual beli adalah bolehnya mengembalikan barang yang sudah dibeli jika mendapati barangnya ada cacat. Bolehkah mengembalikan barang yang sudah dibeli apabila ditemukan cacat?
Dalam hal ini terdapat dasar atas kebolehan bagi pembeli mengembalikan barang yang cacat dalam jual beli yang sah.
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid menjelaskan, dasar kebolehan mengembalikan barang yang cacat adalah firman Allah SWT dalam Alquran Surat An Nisa ayat 29 sebagai berikut:
إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Illa an takuna tijaaratan an taradhin minkum.” Yang artinya, “Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.”
Dan juga hadits masyhur tentang kambing yang susunya tidak diperas. Barang yang cacat mungkin terjadi dalam suatu akad yang menuntut untuk dikembalikan, dan mungkin terjadi dalam suatu akad yang tidak menuntut hal itu.
Jika terjadi dalam akad yang menuntut dikembalikan, mungkin cacat yang menuntut suatu hukum dan yang menuntut konsekuensi hukum, mungkin barangnya sudah mengalami perubahan setelah dijual dan mungkin tidak.
Jika tidak mengalami perubahan, bagaimana hukumnya? Jika mengalami perubahan, apa saja jenisnya dan bagaimana pula hukumnya? Dalam hal ini terdapat lima hal. Antara lain tentang akad-akad yang barangnya cacat menimbulkan hukum tertentu, atau akadnya tidak jadi.
Kedua, tentang cacat-cacat yang menuntut konsekuensi hukum. Ketiga, tentang status cacat yang menuntut konsekuensi hukum jika barang yang dijual belum mengalami perubahan.
Keempat, tentang jenis-jenis perubahan yang terjadi pada pembeli berikut hukumnya. Kelima, tentang keputusan terkait masalah tersebut ketika terjadi perselisihan antara penjual dengan pembeli.
Jual Beli Dalam Ajaran Islam
Dalam Islam, jual beli disebut dengan al bai’. Al bai’ memiliki pengertian secara bahasa yaitu memindahkan kepemilikan sebuah benda dengan akad saling mengganti. Bisa pula, al bai’ dimaknai dengan tukar menukar barang. Sementara itu, menurut istilah ada banyak pengertian dari jual beli. Laman Muhammadiyah menuliskan, dari mahzab Hanafi mendefinisikan jual sebagai pertukaran harta dengan harta lain dengan memakai cara tertentu. Sementara menurut mahzab Syafi’i, jual beli merupakan pertukaran harta benda dengan harta benda lain, keduanya dapat dikelola, dan disertai jab kabul sesuai cara yang diperbolehkan syariat.
Hukum asal jual beli adalah mubah menurut Al Quran, sunnah, dan ijmak ulama. Jual beli adalah kebalikan dari perbuatan riba yang diharamkan.
“Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275). Sementara itu, jual beli dinilai sah apabila terpenuhi rukunnya.
Melansir laman NU Online, rukun jual beli ada tiga yang harus ada yaitu:
1. Penjual dan pembeli (aqidain)
2. Barang yang ditransaksikan untuk jual beli (ma’qud alaih)
3. Ucapan serah terima antara penjual dan pembeli (ijab kabul).
Macam-macam jual beli
Mengutip buku Fikih Kelas IX (Kemenag 2020), ditinjau dari sisi hukumnya, maka jual beli dapat dibagi menjadi berbagai macam bentuk yaitu:
1. Jual beli yang sah
Jual beli ini merupakan transaksi yang sah karena memenuhi rukun dan syarat jual beli sesuai syariat Islam
2. Jual beli terlarang
Jual beli terlarang adalah transaksi jual yang yang rukun dan syaratnya tidak terpenuhi. Dengan begitu, maka transaksi dinilai tidak sah. Berbaga bentuk transaksi jual beli terlarang ini adalah:
a. Jual beli sistem ijon. Jual beli ijon yaitu jual beli hasil tanaman yang masih belum tampak nyata buah atau panennya. Misalnya jual beli padi, buah-buahan, atau bunga yang masih muda dan belum tentu bisa dirasakan panennya.
b. Jual beli barang haram. Jual beli ini memiliki objek transaksi yang dilarang dalam Islam seperti darah, bangkai, daging babi, dan sebagainya.
c. Jual beli sperma hewan. Jual beli sperma dlarang dalam Islam karena sperma tidak bisa diketahui kadar dan tidak diterima bentuknya.
d. Jual beli anak binatang di perut induknya. Anak binatang yang belum lahir tidak boleh ditransaksikan. Hal ini disebabkan tidak ada kepastian apakah anak tersebt lahir dalam keadaan hidup atau justru mati.
e. Jual beli barang belum sepenuhnya dimiliki. Barang-barang yang belum sepenuhnya dimiliki penjual tidak boleh ditransaksikan. Oleh sebab itu, pastikan barang yang dijual sudah dimiliki penuh saat ditransaksikan.
f. Jual beli yang tidak pasti (gharar). Jual beli gharar mengandalkan spekulasi. Dengan begitu, pihak yang bertransaksi hanya bisa menebak kemungkinan hasil dari transaksi. Misalnya yaitu jual beli buah-buahan sebelum nyata kemunculannya.
3. Jual beli yang sah, namun terlarang menurut agama
Dalam Islam juga terdapat jual beli yang sah memenuhi rukun dan syaratnya, namun tidak diperbolehkan sesuai syariat. Jenis jual beli ini terdiri dari:
a. Jual beli ketika dilangsungkan khutbah dan shalat Jumat. Larangan ini terutama diperuntukkan bagi laki-laki muslim yang seharusnya ikut shalat Jumat ketimbang berdagang. Larangan tersebut meruju pada surah Al Jumuah ayat 9 dalam Al Quran.
b. Jual beli tapi dengan menghadang penjual sebelum masuk pasar. Cara ini membuat penjual tidak tahu harga pasar dari barang yang dijualnya. Pembeli bisa mendapatkan harga murah dengan cara licik tersebut.
c. Jual beli untuk menimbun barang. Jual beli yang diniatkan untuk menimbun barang agar harga bisa menjadi lebih mahal akibat langkanya stok barang, jug tidak diperbolehkan. Nabi Muhammad bersabda,“Tidaklah akan menimbun barang kecuali orang-orang yang durhaka” (HR. Muslim).
d. Jual beli dengan mengurangi timbangan. Cara curang dalam berdagang salah satunya dengan mengurangi takaran barang saat transaksi. Jual beli ini akan mendzalimi pembeli dan dilarang karena terjadi penipuan.
e. Jual beli mengecoh. Jual beli ini melibatkan unsur penipuan. Contohnya mencampurkan barang berkualitas bagus dan buruk dalam satu tempat agar pembeli terkecoh saat memilih barang yang hendak dibeli.
f. Jual beli barang yang sudah dipesan orang lain. Jika suatu barang dalam status sudah sepakat dipesan atau ditawar seseorang, maka tidak sah diberikan pada pembeli lain sebelum kesepakatan sebelumnya batal. Nabi Muhammad bersabda,“Janganlah seseorang menjual sesuatu yang telah dibeli orang lain.” (HR. Muttafaq Alaih).