Dhubaah Sang Pembawa Syarat Haji
Dhubaah adalah cucu Abdul Muthalib bin Hasyim al-Qarsyiyah al-Hasyimiyah. Ia adalah sepupu Rasulullah SAW. Ayahnya, Az-Zubair bin Abdul Muthalib, adalah saudara kandung Abdullah, ayahanda Rasulullah SAW.
Ia adalah panglima Bani Hasyim dan Bani al-Muthalib dalam Perang Fijaar. Ia seorang penyair terhormat dengan julukan Abu Thahir. Sayangnya, ia tak sempat memeluk Islam. Anak-anaknya yang sempat masuk Islam bernama Abdullah, Dhubaah, Maji, Shafiyah, dan Atikah.
Lahir dari keluarga terkemuka saat itu, Dhubaah binti az-Zubair bin Abdul Muthallib bin Hasyim tumbuh menjadi sosok dengan tingkat kedewasaan yang tinggi. Zubair sangat mencintai dia. Perasaan yang sama ia dicurahkan kepada keponakannya, Muhammad.
Sewaktu Nabi masih kecil dan tinggal di Makkah, paman tertuanya itu menyayangi Muhammad kecil dan mengasihinya. Ia kerap mengajak Muhammad bermain. Perlakuan yang sama juga ditunjukkan Dhubaah kepada sepupunya itu. Ia sering kali memasak dan menghidangkannya kepada Rasulullah SAW.
Dhubaah menikah dengan al-Miqdad bin Amr al-Kindi. Ia merupakan satu dari ketujuh sahabat yang mengikrarkan syahadat pada awal Islam. Dhubaah dikenal pula dengan daya dan kemampuan menghafal yang luar biasa. Ini menempatkannya ke dalam deretan para sahabat perempuan (sahabiyah), perawi hadis.
Dhubaah menjadi salah satu kiblat periwayatan hadis. Tak sedikit generasi salaf dari sahabat dan tabiin yang mengambil hadis darinya. Sebut saja dari kalangan sahabat, ada Ibnu Abbas, Jabir bin Abdullah, Anas bin Malik, Aisyah RA. Sementara, pengambil riwayat yang berasal dari golongan tabiin antara lain Sa’id bin al-Musayyib, termasuk Karimah binti al-Miqdad, putri kandungnya.
Bersama al-Miqdad, ia dikaruniai dua orang anak, yakni Abdullah dan Karimah. Dalam Perang Jamal, Abdullah ikut bertempur di pihak Aisyah. Ia syahid dalam perang tersebut. Dhubaah adalah seorang perempuan yang haus ilmu. Ia tak segan bertanya langsung kepada Rasulullah SAW jika ada hal-hal yang tidak ia ketahui.
Nama Dhubaah melambung bersama hadis tentang diperbolehkannya menetapkan syarat dalam niat haji atau umrah. Para sahabat yang biasa meriwayatkan hadis dari Dhubaah antara lain Ibnu Abbas, Jabir, Anas, Aisyah, Urwah, dan al-A’raj.
Aisyah menuturkan, suatu ketika, Nabi bertandang ke rumah Dhubaah binti Zubair bin Abdul Muthalib. Ketika itu Dhubaah sedang sakit. Ia pun berkata, “Ya Rasulullah, aku bermaksud hendak menunaikan ibadah haji, tetapi aku sakit. Bagaimana ini?” Nabi menjawab, “Berhajilah dan syaratkan dalam niatmu bahwa tempat tahalulku di tempat saya tertahan (karena sakit).”
Riwayat lain menambahkan, Rasulullah mengajari Dhubaah tata cara berniat dengan keberadaan syarat di dalamnya seperti berikut, “Ya Allah, aku menjawab panggilan-Mu dengan melakukan ihram untuk umrah. Jika aku terhalang sesuatu di tengah jalan, tahalulku di tempatku tertahan tersebut.”
Ada pula yang mengatakan, pada suatu hari, Dhubaah binti Zubair menemui Rasulullah SAW. Ia bertanya, “Wahai Rasulullah, aku ingin menunaikan ibadah haji. Apakah ada syarat-syarat yang harus aku penuhi?” Rasulullah menjawab, “Ya.” Ia bertanya lagi, “Apa yang harus aku baca?”
Beliau bersabda, “Bacalah Labbaik Allahumma Labbaik. Labbaika mahalli minal ardhi haitsu tuhbisuni (Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah! Aku penuhi panggilan-Mu, aku penuhi panggilan-Mu di tempat Engkau menahamku ini.”
Tak banyak sumber yang menceritakan tentang kisah Dhubaah. Peristiwa ini membuat ia dikenal dengan julukan al-Musytarithah, sang peminta syarat. Dhubaah meluapkan kecintaannya pada Rasulullah dan melaksanakan titahnya hingga ajal menjemput pada tahun ke-40 setelah hijrah.